Hanya karena kurang efektif melakukan peran sebagai pasien, ada ongkos yang tak perlu yang mesti pasien bayar, selain belum tentu keluhan hilang, dan penyakit sembuh. Untuk itu sedikitnya perlu sepuluh kiat, bekal menjembatani gap kompetensi Anda sebagai pasien dengan dokter pada setiap kali Anda sedang memerlukan bantuannya.
10 KIAT MENJADI PASIEN EFEKTIF & BIJAKSANA
1. Kapan Sebaiknya Anda Perlu Ke Dokter ?
Tentu tidak setiap merasa kurang enak badan perlu langsung minta bantuan dokter. Hampir sebagian besar keluhan sehari-hari akan mereda sendiri, dengan atau tanpa bantuan obat. Maka paling arif, kalau menunda dulu mencari dokter, bahkan untuk segera minum obat warung sekalipun.
Keluhan fisik bisa muncul bila tubuh kurang diberi waktu untuk jeda. Orang sekarang cenderung kurang tertib memperlakukan jadwal hariannya. Juga dalam hal jeda. Selain waktu tidur semakin berkurang, tubuh kurang diberi kesempatan buat memulihkan energi, menggaanti jaringan yang aus, dan kembali membugarkan diri. Tidur, atau sekadar merebahkan badan teratur, barang setengah jam sudahlah memadai.
Tidur siang kini jadi barang mewah buat sebagian orang kota. Padahal kebiasaan ini mestinya tidak boleh luput dari kesibukan kita yang nyaris tanpa jeda. Bukan cuma fisik, pikiran kita juga sering kelewat letih. Letih menahun acap menjadi penyakit baru bagi orang yang lupa menyisihkan waktu jedanya. Dan makna tidur siang tak perlu berbaring seperti di rumah. Sehabis makan siang, tidur bisa dibiasakan dalam posisi terduduk, misalnya.
Banyak keluhan fisik muncul sebab tubuh kurang beristirhat. Maka cara pertama bila badan merasa kurang enak: bawalah tidur atau merebahkan diri, pilih menu berprotein (sop, soto), dan mungkin perlu ekstra telur, selain multivitamin.
Bila setelah dibawa jeda, keluhan masih juga, pikiran pertama, kemungkinan mau ”masuk angin”. Apa itu? ”Catch cold”, kata Mr. Bush. Bila kurang tidur, telat makan, lama terpapar hawa dingin atau kehujanan, badan jadi lemah, dan itu umumnya tanda awal mau flu. Badan pegal linu, pening, mulut pahit, mungkin sering bersin, rasa tak enak di tenggorokan. Perlu langsung ke dokter?
Jangan dulu. Beli obat warung, langsung tenggak, cari sop kambing (kalau suka), bawa tidur, dan jangan mandi air dingin (apalagi tidur di kulkas). Umumnya, keluhan akan segera reda, dan flu batal muncul.
Yang sama dilakukan bila di seruangan kantor ada, atau banyak yang lagi flu. Badan tak enak di tengah orang flu, kemungkinan sudah tertular. Obat flu di saat masih awal-awal, umumnya membantu. Cukup minum sekali, biasanya flu batal nongol. Tidak demikian bila sudah terlambat. Apalagi kalau sudah muncul dahak, dan dahaknya berwarna hijau kuning, tanda infeksi bukan lagi oleh virus melainkan sudah ditungganggi kuman. Inilah saatnya perlu bantuan dokter.
Atau bisa terjadi, baru di awal-awal serangan flu, langsung sudah parah. Ini biasanya terjadi pada mereka yang suka asma, paru-paru pernah flek, pengidap penyakit jantung, atau anak dengan kelainan jantung bawaan. Untuk mereka mungkin perlu lebih dini minta bantuan dokter. Asma diperburuk oleh serangan flu dan infeksi THT.
Jangan ditanya kalau flu sudah bikin kuping jadi budek, tenggorokan seperti disilet, atau sesak napas kayak habis dikejar maling. Yang begini tak bisa diobati sendiri. Tidak juga potong kompas mencoba-coba tanya apotek pilih obat apa. Betul apoteker mengerti obat, tapi tentu tidak tahu urusan penyakit. Tidak tahu di balik keluhan dan gejala flu kemungkinan ada apa saja.
Keluhan yang kian progrresif, dan bertambah ragam dan modalitasnya juga perlu diwaspadai kalau penyakitnya bukan tergolong main-main. Sudah tidur, sudah minum obat warung, sudah makan enak, tapi malah tambah banyak keluhannya, berarti jangan tunda mencari dokter.
Pergi ke dokter juga dipertimbangkan bila selain keluhan, muncul pula tanda penyakit yang tampak, seperti muncul cacar, bisul, ruam merah kulit, benjolan yang mendadak besar, atau gangguan fungsi seperti kesemutan hebat, terasa lemah, tak bisa menggerakkan badan, mendadak penglihatan buram, atau gelap sesaat, memegang gelas tiba-tiba gelas terlepas dari jemari tangan, atau timbul kejang-kejang. Keluhan, tanda, gejala, seperti itu mungkin awal penyakit yang bukan enteng.
Juga bila keluhan yang dianggap enteng, seperti mual, mulas, nyeri kepala, semakin menghebat. Apalagi kalau sampai tak tertahankan, berarti memang ada yang perlu segera diatasi. Bisa jadi ini kegawatdaruratan medik. Jangan tunda mencari dokter sekalipun harus sampai ke pasar.
2. Obat Tidak Selalu Identik Dengan Kesembuhan
Ya, minum obat tidak memberi janji seratus persen niscaya bakal sembuh, atau meniadakan keluhan, gejala, dan gangguan fungsi organ tubuh. Sekalipun obat itu dari resep dokter. Kita mengenal ada dua jenis obat. Obat untuk meredakan keluhan dan gejala atau obat simptomatik, dan jenis obat kuratif. Dokter umumnya meresepkan keduanya, meskipun sesungguhnya obat pereda keluhan tidak perlu-perlu amat, sebab selain pasien harus merogoh kantongnya lebih dalam, umumnya kurang begitu ada gunanya.
Selama pasien bisa tahan dengan keluhan demam, nyeri kepala, mual, dan lainnya, tak perlu obat pereda diberikan. Termasuk obat batuk, obat mencret, obat pusing tujuh kelililng, atau obat gatal, dan pereda keluhan lainnya.
Jauh lebih penting apakah obat untuk membasmi akar penyakitnya sudah tepat pilihannya. Dan di situ sesungguhnya inti kesembuhan dan letak nilai bertangan dingin tidaknya seorang dokter. Pasien boleh merasa sembuh karena sudah lebih enak sehabis minum obat dokter. Tapi merasa sembuh bukan berarti penyakitnya sudah sembuh jika yang pasien minum jenis obat pereda keluhan dan gejala.
Bila dokter gagal menemukan penyakit pasiennya, yang berarti gagal mendiagnosis, sehingga obat yang diresepkannya pun tidak tepat sasaran, percuma kalau hanya merasa sembuh, sebab sesungguhnya belum sembuh. Dengan begitu, kendati si pasien merasa enakan sebab diberi obat pereda keluhan, oleh karena obat dokter tidak berhasil memadamkan api dalam akar penyakitnya (misdiagnosis), maka begitu obatnya habis, keluhan dan gejalanya muncul lagi, dan perjalanan penyakitnya sudah semakin berlanjut, atau mungkin malah sudah komplikasi.
Itu ruginya bila resep dokter kelewat banyak. Dan yang banyak itu justru jenis obat pereda keluhan yang seakan menghibur pasien. Dan seperti itu kedoyanan kebanyakan pasien modern, maunya begitu keluar dari kamar praktik dokter, seluruh keluhannya harus sudah sirna. Padahal sekali lagi, hilangnya keluhan belum tentu berarti sakitnya sudah sembuh.
Perlu dipahamai, seenteng apa pun penyakit yang kita idap, selalu perlu waktu untuk sembuh. Bukan seperti makan cabai, begitu gigit langsung pedas. Untuk sembuh perlu juga waktu. Yang bisa dokter langsung berikan hanya meniadakan keluhan penyakit belaka, tapi obat perlu waktu untuk menormalkan kerja tubuh. Termasuk jika ada bibit penyakit di tubuh kita, karena dokter bukan dukun sembur jampi, apalagi bisa seperti malaikat.
3. Pasien Punya Hak Bertanya Resep Obat
Yaa, supaya dokter tidak royal menulis resep, pasien perlu kritis. Kata nenek saya, dokter yang bertangan dingin itu yang menulis resepnya sedikit. Semakin panjang resep ditulis, memperlihatkan semakin tinggi ketidakmampuan dokternya.
Maka tanpa perlu merasa takut dibentak, atau disemprot dokter, pasien yang berani bertanya sebetulnya membantu dokter agar lebih ringkas menulis resep,dan cermat memilihkan obat. Siapa tahu dokternya lagi mengantuk, atau ingat pabrik obat merk tertentu, dengan banyak ditanya, mulai mengingat kembali pesan gurunya: jangan racuni tubuh pasien dengan seabrek obat (polypharmacy), sebab perut pasien bukan apotek.
Dengan banyak bertanya pasien tahu bukan saja memahami maksud dokter memberi obat tertentu, melainkan juga bagaimana obat bekerja, dan kapan kesembuhan akan pasien terima. Sekaligus juga mengecek, apakah dokternya tidak serampangan saja memberi obat seingat yang ada di perutnya. Siapa tahu obatnya tidak cocok dengan kondisi pasien (kocek maupun tubuhnya). Siapa tahu dokter salah menulis aturan pakai, atau mengeja huruf, sehingga pasien pria diberi pil KB istrinya, atau orang lagi duduk di bus tertiup angin saja gampang tidur malah diresepkan obat tidur. Atau siapa tahu dokter mulai budek mendengar keluhan, sehingga keluhan sakit perut diresepkan obat ayan.
Dengan rajin bertanya pasien juga siap tahu seperti apa efek samping obat yang diterimanya, apa bahayanya kalau obat tidak diteruskan, atau kapan obat perlu distop, dan apa yang kemungkinan bakal terjadi setelah obat dikonsumsi bila ternyata tak cocok. Kasus alergi obat, jangan dianggap remeh kalau sampai bikin kulit sekujur badan melepuh. Maka pasien boleh menolak obat, kalau dari pengalaman sebelumnya ia tahu itu bisa membahayakan dirinya.
4. Jangan Percaya Obat Hanya Karena Tinggi Harganya
Betul.
Kualitas obat tidak selamanya ditentukan oleh harganya. Tidak semua obat yang berharga tinggi niscara ampuhnya. Sebaliknya tidak pula semua obat yang murah tentu tidak tokcernya.
Sebut saja obat generik. Jangan remehkan obat generik sebagai obat kelas dua. Hanya karena riwayatnya saja sehingga obat generik punya citra yang tidak anggun seperti obat bermerk. Ibarat tak ubahnya tukang gado-gado. Kendati citarasa gado-gadonya sama, hanya karena yang satu sudah punya nama, orang gandrung memilih gado-gado bermerk ketimbang gado-gado Mpok Iyem, yang sebetulnya sama echonya.
Obat generik itu persis sama dengan obat bermerk aslinya. Bila obat aslinya boleh diproduksi massal setelah hak patennya berlalu, sehingga bisa dijual dengan harga lebih rendah dari ketika masih berlaku paten obat bermerk.
Kalau ada obat yang sama isinya, dengan harga yang lebih rendah, kenapa harus memilih yang harganya lebih tinggi. Namun lihat-lihat siapa pasiennya. Sebab ada pasien yang tidak sembuh kalau resepnya murah, selain ada juga pasien yang penyakitnya malah bertambah setelah menebus resep yang bikin tandas merogoh kantong.
5. Obat Bisa Memunculkan Penyakit Baru
Maka jangan bercanda dengan obat, sekalipun cuma obat warung. Bahwa betul setiap obat membawa efek samping. Efek samping obat kita abaikan demi mengejar khasiatnya. Namun bila obat dipilih kurang tepat, sehingga tidak membuahkan kesembuhan, yang pasien terima cuma efek sampingnya doang.
Bukan jarang di negara maju obat memunculkan penyakit baru. Orang mendapatkan penyakit baru setelah mengonsumsi sesuatu obat (iatrogenic diseases). Pasien kena penyakit lain akibat kealpaan dokter. Anak diberi antibiotika tetracyclin yang bikin giginya kuning (bukan lantaran malas gosok gigi) seumur hidup. Atau pengidap gangguan ginjal diberi obat yang efek sampingnya merusak ginjal. Bukan pasien darah tinggi atau darahnya sudah turun, diberi obat darah tinggi. Orang normal diresepkan obat kencing manis.
Hati-hati dengan obat tetes mata. Jangan simpan obat tetes mata yang sudah lama. Tidak semua keluhan mata yang sama pasti sama obatnya. Obat tetes mata mudah rusak dan gampang tercemar kotoran atau bibit penyakit. Sisa obat infeksi mata sebaiknya dibuang, sebab selain tak ampuh lagi, mungkin membahayakan mata jika masih dipakai lagi.
6. Kembali Ke Dokter Bila Ada Reaksi Tidak Enak Setelah Mengonsumsi Obat
Sekali lagi dokter bukan malaikat karena itu bisa saja alpa dalam meresepkan obat. Atau mungkin resepnya tepat, tapi obat tidak cocok untuk pasien. Kita tahu obat yang sama berbeda respons biologisnya pada orang yang berbeda. Kerentanan masing-masing orang terhadap obat, kapan obat dikonsumsi, adakah interaksi dengan obat lain, kondisi lambung, dan adakah penyakit lain yang tengah diidap menentukan kerja obat di dalam tubuh. Itu semua menentukan pula muncul tidaknya reaksi yang tidak diharapkan sehabis mengonsumsi atau memakai obat.
Tetes mata yang tak cocok, sebab berisi corticosteroid, misalnya, tak boleh dipakai pada penyakit mata herpes yang sama-sama tampak merah seperti penyakit infeksi mata merah. Obat flu dengan kandungan obat tertentu tidak boleh untuk pengidap glaucoma. Pengidap jantung tak boleh sembarang mengonsumsi obat sesak napas. Demikian pula dengan pasien yang berbakat alergi. Ada lebih sepuluh bentuk reaksi alergi yang mungkin timbul akibat mengonsumsi obat yang tidak cocok. Munculnya reaksi alergi tidak selalu dapat diprediksi.
7. Jangan Mau Bila Pihak Apotek Menukar Obat Selain Dari Yang Dokter Tulis (Resep Obat)
Obat yang beredar di kita begitu banyak. Obat sejenis bisa memiliki puluhan merk dari pabrik yang berbeda. Bisa saja di apotek belum tentu tersedia semua merk obat dari yang isinya sejenis. Itu maka, hanya karena pertimbangan bisnis semata, ada pihak apotek yang suka lancang menukar obat tidak seperti yang dokter resepkan.
Itu sebab di bagian bawah resep dokter lazimnya mencantumkan peringatan agar apotek tidak menukar obat tanpa sepengetahuan dokter. Maksudnya selain menghargai resep dokter, dokter punya pertimbangan tersendiri. Kendati jenis obatnya sama, isi dan takarannya pun sama, namun bila dokter memilih merk yang diresepkannya, di luar pertimbangan bisnis, tentu ada pertimbangan lain. Pertimbangan harga yang lebih murah, misalnya.
8. Kapan Obat Harus Dihabiskan?
Tidak semua obat harus dihabiskan. Sudah disebut, ada jenis obat pereda keluhan, ada obat pembasmi akar penyakitnya. Semua obat pereda keluhan atau obat simptomatik tak harus dihabiskan jika keluhannya sudah hilang. Sebaliknya, obat pembasmi akar penyakit tentu harus dihabiskan, seperti antibiotika, obat darah tinggi, kencing manis, antigondok, antiayan, obat jantung. Bahkan obat sudah habis pun masih perlu dikontrol dokter lagi, apakah resepnya perlu diulang atau tidak.
Melanjutkan obat sendiri tanpa sepengetahuan dokter, ada bahayanya. Siapa tahu penyakitnya sudah mereda, atau hilang sama sekali. Kita tahu tidak semua pengidap darah tinggi, kencing manis, gondok, perlu minum obat seterusnya, bila penyebabnya faktor sekunder, bukan primer (idiopathic).
Bagaimana tahunya obat simptomatik ataukah obat pembasmi akar penyakitnya? Dengan bertanya kepada dokter sebelum meninggalkan kamar praktik. Dari sana juga bisa ada tawar menawar soal harga obat yang dipilih, perlu tidaknya lebih banyak obat simptomatik, dan bagaimana sisa obat disimpan, atau pemanfaatannya di kemudian hari.
9. Mengenal Obat Palsu Dan Kedaluwarsa (Masa Pakai)
Dengan semakin menjamurnya toko obat ilegal dengan harga miring, semakin menjamur pula obat palsu.Ada dua pengertian obat palsu. Obat palsu yang kandungannya betul bahan berkhasiat obat, namun merknya dipalsukan (me-too). Dan ada pula obat palsu yang memang selain tidak berisi bahan berkhasiat obat, bermerk palsu juga. Jenis palsu sejati ini yang merugikan pasien
Agar tidak sampai mendapatkan obat palsu, tebuslah obat di apotek. Bila tampilan obat tidak sebagaimana biasanya (bentuk, warna, kemasan, bau), jangan sungkan ditanyakan ke apotek. Atau jika setelah beberapa hari keluhan, gejala, tidak kunjung mereda, kemungkinan obatnya palsu, dokternya salah mendiagnosis, atau obatnya sudah kedaluwarsa (expired).
Tidak semua obat mencatat kedaluwarsa. Namun antibiotika dan beberapa jenis obat yang tak tahan cuaca, harus disimpan di bawah suhu tertentu, biasanya mencantumkan kedaluwarsa. Mengonsumsi obat kedaluwarsa bukan saja menggagalkan kesembuhan penyakitnya, melainkan juga mungkin muncul penyakit atau keluhan baru. Obat mata paling sering begitu. Akibat kekentalannya, atau berubah sifat kimiawinya, atau sudah tercemar, buruk akibatnya bila masih juga dipakai.
10. Sesungguhnya Kita Tidak Perlu Jatuh Sakit Sesering Itu
Kita lebih sering jatuh sakit akibat ulah kita sendiri yang kurang waspada, tidak tahu, atau tidak membiasakan hidup sehat. Kalau saja pola hidup kita menganut segala kaidah kesehatan, hampir pasti kita tidak gampang jatuh sakit.
Kalau waktu makan, tidur, dan aktivitas terjadwal secara tertib dan teratur setiap hari sudah merupakan modal awal untuk hidup sehat. Terlebih jika sudah terpola sejak kecil. Termasuk memelihara higiene perorangan, memahami menu sehat, dan menjinakkan bakat mewarisi penyakit sekiranya ada. Selain itu hidup perlu lebih seimbang antara fisik dan jiwa. Bukan cuma badan yang perlu dibuat bugar, melainkan bugar juga jiwa, sosial, dan spiritualitas kita (bio-psiko-sosial-spiritual) sebagai sebuah ”total fitness”.
Untuk itu tak cukup check up fisik rutin belaka. Kita perlu juga check up kehidupan setiap hari. Apakah kita sudah benar sebagai anak, sebagai ayah, sebagai ibu, sebagai suami, atau istri. Bukan cuma benar arah, tapi sudahkah juga benar cara kita menempuhnya.
Perlu dipahami selalu ada keterkaitan antara badan dan jiwa. Orang sekarang, kendati badannya dijaga sehat, namun bila jiwanya, batinnya terabaikan, akan rentan terkena penyakit psikosomatik. Diperiksa badannya semua normal, tapi orang merasa dirinya sakit. Mengapa??? Sebab jiwanya sakit. Penderitaan jiwanya itu dihibahkan ke dalam penderitaan badan. Sakit mag, sakit jantung, sesak napas, sukar tidur, sakit kepalanya tak kunjung sembuh, bila yang diobati hanya badannya, dan belum jiwanya.
Salam sehat
Dr HANDRAWAN NADESUL